Sabtu, 22 Juni 2013

Bagian I Cerita Seputar Pembentukan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

Bagian I
Cerita Seputar Pembentukan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik
Oleh : Agni Istighfar Paribrata, SH[1]

Koalisi Untuk Keterbukaan Informasi
a.      Pembentukan Koalisi 
Seperti telah banyak dibahas pada tulisan yang lain mengenai inisiasi pembentukan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) berasal dari dorongan masyarakat di DPR-RI maka tersebutlah peran koalisi untuk keterbukaan informasi. Koalisi ini terbentuk pada tahun 2001 yang terdiri dari 24 Non Government Organisation (NGO) dan beberapa individu seperti Sudirman yang berasal dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sekaligus wartawan Suara Pembaruan dan Paulus Efendy seperti yang dijelaskan Danardono.
Danardono menyebut proses awal pembentukan koalisi diinisiasi oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) yang melaunch gagasan pentingnya keterbukaan informasi, kemudian dokumen yang dimiliki  ICEL diedarkan ke teman-teman (NGO) yang memicu bergulirnya diskusi-diskusi dan akhirnya terbentuklah koalisi. Seiring berjalannya waktu aktivitas koalisi menarik minat beberapa lembaga donor seperti : USAID, Kemitraan, Asia foundation, Ford Foundation yang kemudian dipertemukan dalam donor coordination meeting untuk mengumpulkan donor-donor yang  tertarik kedalam isu keterbukaan informasi.
b.      Sistem Kerja Koalisi
Danardono dan Bejo Untung menjelaskan bahwa dalam kerjanya anggota koalisi dibagi ke dalam 3 (tiga) cluster kerja yakni : 1) cluster advokasi yang juga terdapat tim perumus naskah UU KIP di dalamnya; 2) cluster Loby; dan 3) cluster kampanye, namun ditambahkan Bejo Untung bahwa pembagian ini  bukan mekanisme kerja yang formal hanya jadi panduan karena sebenarnya pembagian cluster kerja hanya pada posisi awal saja, statutanya juga tidak jelas sehingga semua orang bisa memainkan peran di ketiga tempat itu.
Secara garis besar Danardono menjelaskan tahapan kerja koalisi dalam mendorong lahirnya UU KIP : 1) Membuat Draft Naskah Akademik. Dalam prosesnya anggota koalisi banyak meng-konfirmasi isu krusial terkait keterbukaan informasi yang berkaitan dengan NGO sektoral seperti yang ada di isu HAM, lingkungan atau pembaruan hukum; 2) Mengadakan Regional Public Consultation. yang dilakuan di daerah untuk menjalin sekutu dan masukan dari daerah; 3) Merumuskan materi rancangan undang-undang. Diawali dengan mengidentifikasi beberapa pasal yang penting, kemudian menggulirkannya ke publik atau meminta uji terhadap ahli seperti ahli hukum administrasi, pidana, penyelesaian sengketa dsb. Semua proses ini dilakukan hingga draft RUU pertama dihasilkan pada tahun 2001 yang berlanjut hingga 4 (empat) versi. Beberapa anggota koalisi yang fight mengawal substansi diantaranya paruh ke-I : I Cell, KHN, KRHN, PSHK, KPOD Pakuwan. Paruh ke-II: LSPP, PPPDI, DPR sendiri tapi secara personal kita minta bantuannya Riris Chatarina namanya.  
c.       Gagasan dan Strategi Awal Koalisi
Danardono menggunakan istilah “Sapu Jagat” untuk memberikan gambaran awal koalisi mengenai UU ini, namun seiring berjalannya waktu melalui diskusi dengan berbagai ahli hukum ekspektasi itu dikurangi seperti peringataan ahli hukum tentang bentuk komisi informasi yang tidak bisa menjadi lembaga yang superbody. Ditambahkan oleh Bejo Untung bahwa bayangan awal koalisi tentang bentuk Komisi Informasi akan seperti KPK yang independen dimana keputusan tribunalnya final dan memiliki sekretariat sendiri (tidak melekat atau berasal dari pemerintah).

Gagasan UU ini datangnya murni dari Civil Society Organisation (CSO) kemudian digulirkan  ke parlemen, menurut Danar waktu itu memang tidak ke pemerintah. Koalisi baru menggulirkan ke Pemerintah belakangan setelah sebelumnya didialogkan terlebih dahulu seperti ke Suprawoto (yang dulu ada di posisi Freedy Tulung sekarang di Kominfo) yang pada waktu itu aktif terlibat bersama Prof. Ramly salah satunya. Koalisi memlih dialog dengan Kominfo karena dianggap sebagai leading sektor,mengingat kebiasaan  proses legislasi kita Pemerintah sebelum menyampaikan sesuatu ke DPR biasa melakukan Interdep (koordinasi antar departemen). Dalam pembentukan suatu UU Kemenkumham biasanya terlibat dimana penentuan leading sector tergantung dalam isu atau topik yang ada UU ini. Karena ini berbunyi informasi maka Kominfolah yang dipilih karena dianggap sesuai dengan TUPOKSInya, tapi dalam diskusi dengan Parlemen seringkali Kemenkumham juga terlibat.

Sekitar tahun 2002 draft (RUU KIP versi koalisi) keempat koalisi sudah masuk ke DPR dan disepakati menjadi draft inisiatif RUU nya DPR. Tahun 2003 draft sudah dibahas di tingkat Pansus, akhir 2003 pembahasan di tingkat pansus sudah selesai dan draft menjadi draft DPR kemudian DPR meminta pemerintah untuk mengeluarkan amanat presiden (sekarang Surat presiden namanya) bersama dengan DIM pemerintah. 
Memasuki tahun 2004 menurut Bejo yang menjadi masalah adalah sulitnya konsolidasi di internal DPR terutama pembahasan di dalam pansus, perdebatan panjang mengenai gagasan pembentukan Komisi Informasi (KI), ada tarik menarik disitu sebagian fraksi sepakat sebagian fraksi menolak, yang cenderung menolak adanya Komisi Informasi adalah Golkar, dilanjutkan oleh Bejo bahwa PDIP waktu itu sepakat untuk mendorong terbentuknya KI dengan berbagai alasan penolakan. dan kondisi waktu itu karena belum ada amanat presiden maka belum ada juga perwakilan dari pemerintah sehingga murni perdebatan di internal DPR yang menyebabkan proses pembahasan menjadi lama. Karena hal ini dianggap bisa mengancam maka  koalisi rajin melakukan loby kepada Paulus Wilianto selaku ketua Pansus sehingga hal ini akhirnya clear di periode I yang menyepakati adanya KI.

Di lain sisi menurut Danar tantangan yang dihadapi koalisi pada tahap awal inisiasi di DPR adalah memberikan pemahaman tentang pentingnya kebebasan kepada mereka (anggota DPR) adalah bertarung dengan tenaga-tenaga ahli di pemerintah yang tentunya sudah sangat siap. Hal ini kemudian disiasati koalisi dengan menyelenggarakan studi banding untuk beberapa anggota komisi I ke beberapa negara yang telah memiliki UU KIP. 
Danar menyebut setelah masuk ke proses legislasi di DPR, maka peran sekretariat (koalisi) adalah menjadi “dirigen” irama gerak koalisi. Ada beberapa rapat Panja yang tertutup maka bbereapa anggota koalisi bisa “nongkrong” di luar dan menyebarkan masukan-masukan, bahkan ketika pansus praktis koalisi tidak bisa memberikan masukan, maka yang bisa dilakukan adalah duduk di balkon dan aktif sms menyebarkan alternatif masukan. 
Menurut Danar beberapa kawan dialog koalisi diantaranya  Hajrianto, Abdillah Toha, Andreas Parera, Dedy Jamaludin Malik dari Partai Amanat Nasional juga Untung Wahono dari Partai Keadilan Sejahtera. Dalam melakukan pendekatan kepada mereka koalisi juga berstrategi misalnya ketika ada anggota DPR yang high profile dan tidak bisa ditemui maka koalisi meminta teman-teman senior seperti Teten, Todung, Ifdal untuk melobi mereka. Langkah selanjutnya beberapa anggota DPR yang dianggap sudah memahami kita (koalisi) ajak roadshow dengan diundang sebagai pembicara di berbagai daerah. Sementara menurut Bejo beberapa anggota DPR yang kooperatif berdialog dengan koalisi diantaranya Efendi Choirie dan Achmad Muqowam dari Partai Persatuan Pembangunan Paulus Widianto dan Djoko Sussilo dari Partai Amanat Nasional.


[1] Penulis adalah asisiten Ahli dan Anggota Tim Hukum Komisi Informasi Pusat.

0 komentar:

Posting Komentar