Bagian I
Cerita
Seputar Pembentukan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik
Oleh
: Agni Istighfar Paribrata, SH[1]
Koalisi
Untuk Keterbukaan Informasi
a.
Pembentukan
Koalisi
Seperti telah banyak
dibahas pada tulisan yang lain mengenai inisiasi pembentukan Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) berasal dari dorongan masyarakat di
DPR-RI maka tersebutlah peran koalisi untuk keterbukaan informasi. Koalisi ini
terbentuk pada tahun 2001 yang terdiri dari 24 Non Government Organisation
(NGO) dan beberapa individu seperti Sudirman yang berasal dari Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) sekaligus wartawan Suara Pembaruan dan Paulus Efendy seperti
yang dijelaskan Danardono.
Danardono menyebut proses
awal pembentukan koalisi diinisiasi oleh Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL) yang melaunch
gagasan pentingnya keterbukaan informasi, kemudian dokumen yang
dimiliki ICEL diedarkan ke teman-teman (NGO)
yang memicu bergulirnya diskusi-diskusi dan akhirnya terbentuklah koalisi. Seiring
berjalannya waktu aktivitas koalisi menarik minat beberapa lembaga donor
seperti : USAID, Kemitraan, Asia foundation, Ford Foundation yang kemudian
dipertemukan dalam donor coordination
meeting untuk mengumpulkan donor-donor yang
tertarik kedalam isu keterbukaan informasi.
b.
Sistem
Kerja Koalisi
Danardono dan Bejo
Untung menjelaskan bahwa dalam kerjanya anggota koalisi dibagi ke dalam 3 (tiga)
cluster kerja yakni : 1) cluster advokasi yang juga terdapat tim perumus naskah
UU KIP di dalamnya; 2) cluster Loby; dan 3) cluster kampanye, namun ditambahkan
Bejo Untung bahwa pembagian ini bukan
mekanisme kerja yang formal hanya jadi panduan karena sebenarnya pembagian
cluster kerja hanya pada posisi awal saja, statutanya juga tidak jelas sehingga
semua orang bisa memainkan peran di ketiga tempat itu.
Secara garis besar
Danardono menjelaskan tahapan kerja koalisi dalam mendorong lahirnya UU KIP :
1) Membuat Draft Naskah Akademik. Dalam prosesnya anggota koalisi banyak
meng-konfirmasi isu krusial terkait keterbukaan informasi yang berkaitan dengan
NGO sektoral seperti yang ada di isu HAM, lingkungan atau pembaruan hukum; 2) Mengadakan
Regional Public Consultation. yang
dilakuan di daerah untuk menjalin
sekutu dan masukan dari daerah; 3) Merumuskan materi rancangan undang-undang.
Diawali dengan mengidentifikasi beberapa pasal yang penting, kemudian
menggulirkannya ke publik atau meminta uji terhadap ahli seperti ahli hukum
administrasi, pidana, penyelesaian sengketa dsb. Semua proses ini dilakukan
hingga draft RUU pertama dihasilkan pada tahun 2001 yang berlanjut hingga 4
(empat) versi. Beberapa anggota koalisi yang fight mengawal substansi diantaranya paruh ke-I : I Cell, KHN,
KRHN, PSHK, KPOD Pakuwan. Paruh ke-II: LSPP, PPPDI, DPR sendiri tapi secara
personal kita minta bantuannya Riris Chatarina namanya.
c.
Gagasan
dan Strategi Awal Koalisi
Danardono menggunakan istilah
“Sapu Jagat” untuk memberikan gambaran awal koalisi mengenai UU ini, namun
seiring berjalannya waktu melalui diskusi dengan berbagai ahli hukum ekspektasi
itu dikurangi seperti peringataan ahli hukum tentang bentuk komisi informasi
yang tidak bisa menjadi lembaga yang superbody.
Ditambahkan oleh Bejo Untung bahwa bayangan awal koalisi tentang bentuk Komisi
Informasi akan seperti KPK yang independen dimana keputusan tribunalnya final
dan memiliki sekretariat sendiri (tidak melekat atau berasal dari pemerintah).
Gagasan UU ini datangnya murni
dari Civil Society Organisation (CSO)
kemudian digulirkan ke parlemen, menurut
Danar waktu itu memang tidak ke pemerintah. Koalisi baru menggulirkan ke
Pemerintah belakangan setelah sebelumnya didialogkan terlebih dahulu seperti ke
Suprawoto (yang dulu ada di posisi Freedy Tulung sekarang di Kominfo) yang pada
waktu itu aktif terlibat bersama Prof. Ramly salah satunya. Koalisi memlih
dialog dengan Kominfo karena dianggap sebagai leading sektor,mengingat kebiasaan
proses legislasi kita Pemerintah sebelum menyampaikan sesuatu ke DPR
biasa melakukan Interdep (koordinasi
antar departemen). Dalam pembentukan suatu UU Kemenkumham biasanya terlibat
dimana penentuan leading sector
tergantung dalam isu atau topik yang ada UU ini. Karena ini berbunyi informasi
maka Kominfolah yang dipilih karena dianggap sesuai dengan TUPOKSInya, tapi dalam
diskusi dengan Parlemen seringkali Kemenkumham juga terlibat.
Sekitar tahun 2002
draft (RUU KIP versi koalisi) keempat koalisi sudah masuk ke DPR dan disepakati
menjadi draft inisiatif RUU nya DPR. Tahun 2003 draft sudah dibahas di tingkat
Pansus, akhir 2003 pembahasan di tingkat pansus sudah selesai dan draft menjadi
draft DPR kemudian DPR meminta pemerintah untuk mengeluarkan amanat presiden
(sekarang Surat presiden namanya) bersama dengan DIM pemerintah.
Memasuki tahun 2004 menurut
Bejo yang menjadi masalah adalah sulitnya konsolidasi di internal DPR terutama
pembahasan di dalam pansus, perdebatan panjang mengenai gagasan pembentukan
Komisi Informasi (KI), ada tarik menarik disitu sebagian fraksi sepakat
sebagian fraksi menolak, yang cenderung menolak adanya Komisi Informasi adalah
Golkar, dilanjutkan oleh Bejo bahwa PDIP waktu itu sepakat untuk mendorong
terbentuknya KI dengan berbagai alasan penolakan. dan kondisi waktu itu karena
belum ada amanat presiden maka belum ada juga perwakilan dari pemerintah
sehingga murni perdebatan di internal DPR yang menyebabkan proses pembahasan
menjadi lama. Karena hal ini dianggap bisa mengancam maka koalisi rajin melakukan loby kepada Paulus
Wilianto selaku ketua Pansus sehingga hal ini akhirnya clear di periode I yang menyepakati adanya KI.
Di lain sisi menurut
Danar tantangan yang dihadapi koalisi pada tahap awal inisiasi di DPR adalah memberikan
pemahaman tentang pentingnya kebebasan kepada mereka (anggota DPR) adalah
bertarung dengan tenaga-tenaga ahli di pemerintah yang tentunya sudah sangat
siap. Hal ini kemudian disiasati koalisi dengan menyelenggarakan studi banding
untuk beberapa anggota komisi I ke beberapa negara yang telah memiliki UU KIP.
Danar menyebut setelah
masuk ke proses legislasi di DPR, maka peran sekretariat (koalisi) adalah
menjadi “dirigen” irama gerak koalisi. Ada beberapa rapat Panja yang tertutup
maka bbereapa anggota koalisi bisa “nongkrong” di luar dan menyebarkan
masukan-masukan, bahkan ketika pansus praktis koalisi tidak bisa memberikan
masukan, maka yang bisa dilakukan adalah duduk di balkon dan aktif sms menyebarkan alternatif masukan.
Menurut Danar beberapa
kawan dialog koalisi diantaranya
Hajrianto, Abdillah Toha, Andreas Parera, Dedy Jamaludin Malik dari Partai
Amanat Nasional juga Untung Wahono dari Partai Keadilan Sejahtera. Dalam
melakukan pendekatan kepada mereka koalisi juga berstrategi misalnya ketika ada
anggota DPR yang high profile dan
tidak bisa ditemui maka koalisi meminta teman-teman senior seperti Teten,
Todung, Ifdal untuk melobi mereka. Langkah selanjutnya beberapa anggota DPR
yang dianggap sudah memahami kita (koalisi) ajak roadshow dengan diundang sebagai pembicara di berbagai daerah.
Sementara menurut Bejo beberapa anggota DPR yang kooperatif berdialog dengan
koalisi diantaranya Efendi Choirie dan Achmad Muqowam dari Partai Persatuan
Pembangunan Paulus Widianto dan Djoko Sussilo dari Partai Amanat Nasional.